MENJADI SESAMA BAGI SEMUA ORANG
Oleh: Pdt. Humala
Lumbantobing, M.Th
Menjadi
sesama bagi semua orang adalah suatu
cita-cita yang luhur dalam rangka mewujudkan kerukunan antara sesama di tengah
masyarakat pluralis. Kerinduan ini sangat perlu dikembangkan oleh umat percaya
sebab kita menyadari manusia di bumi ini diciptakan oleh Tuhan sungguh berbeda
baik secara etnis, agama, ras dan
budaya. Perbedaan seperti itu kalau tidak disikapi dengan pikiran positip akan
mengarah kepada persaingan, sikap menutup diri dan yang paling parah menganggap
orang lain menjadi musuh. Sikap ekslusif yang dipelihara terus-menerus akan
selalu mengagungkan kelompok sendiri dengan “kita”, sementara yang di sana itu
“mereka” (bukan kita), sehingga terjadilah tembok-tembok pemisah.
Kenyataannya kita hanya berinteraksi dengan kelompok kita sendiri dan
mementingkan kelompok sendiri. Dalam kesusahan kita hanya menolong kelompok
kita sendiri, yang nota bene satu warna, kelas, darah dan asal-usul
(kedaerahan). Hidup kita menjadi egois dan tidak peduli dengan nasib sesama.
KEMBALI KEPADA PANGGILAN
Untuk mengatasi sikap egois yang kian mencuat
dan yang tidak mempedulikan sesama, dan dalam rangka menuju kerukunan dan
harmoni di tengah masyarakat nampaknya kita harus kembali merenungkan panggilan kita di tengah-tengah masyarakat pluralis. Sebagai
orang percaya Allah memanggil kita untuk menjadi berkat bagi semua orang. Dalam
hal ini tokoh panutan kita adalah Abraham. TUHAN memanggil Abraham dari
Ur-Kasdim, harus meninggalkan saudaranya, rumah bapanya dan pergi ke Tanah Perjanjian untuk menjadi berkat
di sana. TUHAN mengatakan, “Pergilah....dan olehmu semua kaum di muka bumi akan
menjadi berkat.” (lihat Kej.12:1-3). Dengan dasar ini panggilan umat percaya
adalah menjadi berkat bagi semua orang. Tanah Perjanjian (Tanah Kanaan) itu
ternyata dihuni oleh berbagai suku bangsa, yaitu orang Keni, orang Kenas, orang
Kadmon, orang Het, orang Feris, orang Refaim, orang Amori, orang Kanaan, orang
Girgasi dan orang Yebus (Kej.15:19). Itu berarti bahwa Abraham harus berinteraksi
dengan semua suku bangsa itu tanpa pandang bulu. Dia harus bergaul dengan
mereka, membangun persahabatan,
memperbaharui hidup mereka, terlebih supaya semua bangsa itu mengenal
Allahnya bangsa Israel.
Pemahaman dasar tersebut dalam Perjanjian
Baru justru semakin ditegaskan oleh Tuhan Yesus dalam Khotbah di Bukit, “Kamu
adalah garam dunia”, dan “Kamu adalah terang dunia” (Mat.5:13-14). Umat percaya
terpanggil untuk menjadi garam dan terang dunia. Sebagai garam, kita berfungsi
untuk membuat orang lain merasa diberkati, merasa tenteram, merasa didukung,
dipuji dan diuntungkan. Di sini kehadiran orang percaya harus mempunyai manfaat
bagi sesamanya di mana pun dan kapan pun. Kita harus menjadi sesuatu bagi orang
lain. Orang percaya adalah untuk semua orang (We are for all). Lalu sebagai terang orang percaya harus bercahaya
di tengah-tengah kegelapan. Banyak orang
masih tinggal dalam ikatan atau kungkungan kegelapan, maka fungsi orang percaya
harus menjadi terang di sana. Yesus berkata: “Demikianlah hendaknya terangmu
bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan
memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Mat.5:16). Sikap orang percaya tidak
mengutuki kegelapan, tetapi menebarkan berkas-berkas cahaya di tengah kegelapan
itu.
Untuk menjadi sesama bagi semua orang,
teladan Orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25-37) juga menjadi dasar yang
sangat penting dalam mengembangkan persaudaraan (brotherhood). Dalam konteks
itu sikap orang samaria yang baik hati
memberikan gambaran jelas tentang cara pandang kita terhadap sesama.
Yesus mengubah paradigma para ahli taurat dari siapakah sesamaku manusia
menjadi siapakah aku bagi sesamaku
manusia. Yesus menunjukkan bahwa kita
semua adalah saudara dan sesama (We are
brothers and sisters). Kita adalah
sama-sama manusia yang tinggal di bumi ini. Kita adalah sesama manusia yang
menghirup udara yang sama. Dengan kata lain, bagi Yesus ’tidaklah penting’
siapakah sesama kita, baik mereka orang miskin atau kaya, baik mereka saudara
sedarah atau tidak, baik mereka satu daerah dengan kita atau tidak, baik mereka
satu negara dengan kita atau tidak. Yang terpenting bagi Yesus adalah apakah
kita mau hidup sebagai saudara dan sesama bagi yang lain atau tidak. Jangan
tanyakan siapakah saudaraku yang perlu kita tolong (sebab banyak orang yang
menderita yang harus kita tolong),
tetapi tanyakanlah, siapakah aku bagi sesamaku. Sebab untuk menolong
atau berbagi dengan sesama, pintu hati kitalah yang pertama sekali harus
terbuka.
MEMBANGUN
SOLIDARITAS BAGI SESAMA
Dengan menyadari panggilan, “menjadi sesama” bagi
saudara yang lain, maka kini kita disegarkan kembali untuk membangu solidaritas
bagi semua orang, terutama bagi mereka yang menderita, tertindas dan sengsara. Semua
kita menyaksikan bahwa bencana-bencana alam masih sering terjadi di negara
kita, gempa bumi, banjir, tsunami, gunung meletus, kebakaran, dan dampak
teror-teror bom. Bagaimana orang percaya menyikapi semua kejadian-kejadian
ini? Di samping itu dalam kehidupan
sehari-hari kita bertemu dan menghadapi berbagai macam orang dari berlatar
belakang suku, agama dan ras. Kita melihat kelompok-kelompok yang mengasingkan
diri, kelompok yang memunculkan sikap arogansi, kelompok mayoritas dan
minoritas, penduduk pribumi dan non-pribumi. Bagaimanaklah seharunya orang
percaya hidup di tengah pluralisme seperti itu? Berangkat dari dasar teologis
yang diuraikan di atas, sikap orang percaya yang aktual pada masa kini adalah:
Pertama, orang percaya harus menjadi
berkat bagi semua orang sebab itulah panggilan kita. Dalam hal ini umat percaya
harus berusaha menciptakan kedamaian, kerukunan, kesejahteraan dan keteduhan
bagi orang lain.
Kedua, orang-orang percaya harus menghargai perbedaan, malah
perbedaan itu indah. Sekalipun berbeda kita tetap satu (Diversity in unity) di dumi yang diciptakan oleh Tuhan. Paulus mengatakan, “Karena kamu semua, yang
dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang
Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang meredeka, tidak ada
laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus.”
(Gal.3: 27-28).
Ketiga, orang pecaya
harus berdoa syafaat bagi semua orang. Paulus menasihatkan, “Pertama-tama aku
menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua
orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang
dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan. Itulah yang baik dan yang
berkenan kepada All;ah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang
diselamatkan dan memperoleh pengetahuan yang benar akan kebenaran.” (1
Tim.2:1-4). Kuasa doa orang percaya sangat penting untuk membawa
pembaharuan yang berguna bagi sesama.
Akhirnya dengan penyertaan Tuhan,
marilah kita meningkatkan solidaritas bagi sesama, kerukunan antar sesama dan
saling menghormati di tengah bangsa dan negara kita yang majemuk ini.
Shalom....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar